Senin, 31 Januari 2011

ACFTA jadi boomerang..

ACFTA jadi boomerang..
Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN–CHINA (ASEAN–China Free Trade Area, ACFTA), adalah suatu kawasan perdagangan bebas di antara anggota-anggota ASEAN dan Tiongkok (Cina). Kerangka kerjasama kesepakatan ini ditandatangani di Phnom Penh, Cambodia, 4 November 2002, dan ditujukan bagi pembentukan kawasan perdagangan bebas pada tahun 2010,tepatnya 1 Januari 2010. Setelah pembentukannya ini ia menjadi kawasan perdagangan bebas terbesar sedunia dalam ukuran jumlah penduduk dan ketiga terbesar dalam ukuran volume perdagangan, setelah Kawasan Perekonomian Eropa dan NAFTA
Usulan pembentukan kawasan ini dicetuskan Cina pada bulan November 2000.Pada saat itu Cina memprediksi akan menggeser Amerika Serikat pada posisi mitra dagang utama ketiga ASEAN, setelah Jepang dan Uni Eropa.Pada rentang waktu antara 2003 dan 2008, volume perdagangannya dengan ASEAN tumbuh dari US$59.6 milyar menjadi US$192.5 milyar.Cina juga diprediksi menjadi negara eksportir dunia terbesar pada tahun 2010.
Di tengah belum siapnya pemerintah dan para pelaku usaha Indonesia terhadap sistem perdagangan bebas, ASEAN-China Free Trade Agreement sudah dimulai sesuai kesepakatan sebelumnya. Pemerintah diminta melakukan pembicaraan ulang.
Perdagangan bebas antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara dengan negara China (ASEAN-China Free Trade Agreement/ACFTA) mulai berlaku 1 Januari 2010. Perjanjian yang sudah digagas sejak tahun 2001 silam ini seharusnya sudah siap dihadapi Indonesia dan menjadi kesempatan emas bagi para usahawan dalam negeri untuk memasarkan produknya ke China, mengingat negeri Tirai Bambu itu merupakan pangsa pasar yang menjanjikan dengan jumlah penduduknya yang lebih dari 1,3 miliar.
Namun, kesempatan itu sepertinya akan manjadi bumerang. Sebab, pemerintah dan kalangan industri atau pengusaha dalam negeri hingga hari pelaksanaannya ternyata belum siap. Pemerintah belum memiliki strategi untuk menyambut perdagangan tersebut. Pengusaha pun akhirnya mendesak pemerintah untuk menunda pemberlakuan ACFTA tersebut dengan membicarakan ulang sebanyak 228 pos bebas tarif alias 0% dari 1.696 pos yang sudah disepakati sebelumnya, karena dianggap berpotensi melemahkan industri dan merusak pasar domestik.
Ketua Umum Apindo, Sofjan Wanandi melihat persiapan Indonesia menghadapi ACFTA ini hanya bermodal tangan kosong. Menurutnya, tidak ada satu pun produk Indonesia di sektor manufaktur yang mampu menggebrak pasar China. Malah yang terjadi mungkin justru sebaliknya, Indonesia akan menjadi pasar produk China. Dikatakannya, akan sangat sulit untuk produk manufaktur Indonesia menembus pasar China, karena produk-produk China sudah cukup kompetitif di negeri asalnya. Untuk itu, pemerintah menurutnya harus terus memperjuangkan penundaan atau memodifikasi perdagangan bebas itu.
Sementara Pemerintah menyatakan, ACFTA tak bisa ditunda atau dibatalkan.Namun kenyataannya, menurut Emil Abeng (Anggota Komisi VI DPR) ACFTA dapat ditunda melalui proses pengajuan penundaan lewat badan resmi yang ditunjuk, dalam hal ini Sekretariat Jenderal ASEAN selama pemerintah (Menteri Perdagangan) mempunyai itikad untuk hal tersebut.
Pemerintah jelas mengambil keputusan sendiri untuk masalah sangat strategis ini. Kenyataannya, dalam proses ACFTA, DPR tidak dilibatkan, mulai dari proses perundingan internasional hingga penandatanganan, padahal perjanjian tersebut secara hukum nasional masih perlu diadopsi ke dalam hukum nasional oleh DPR.
Pemerintah menyatakan, dengan ACFTA peluang pasar akan membesar, dengan mendekati dua miliar penduduk di kawasan ASEAN dan China. Kenyataannya, jika pelaku bisnis kita kalah bersaing, Indonesia tidak dapat memanfaatkan ACFTA, tetapi justru akan kehilangan potensi ekonomi dan lost generation. Contoh menarik, Indonesia telah mempromosikan pariwisata ke China sejak 2006. Malangnya, turis Indonesia justru jauh lebih banyak berkunjung ke China dengan berbagai alasan, termasuk untuk berobat.
Menteri Perdagangan menyatakan akan mencari solusi bagi pelaku ekonomi nasional yang terkena dampak negatif ACFTA melalui berbagai langkah, di antaranya :
1) menganalisa untuk menekan biaya tinggi,
2) Pembenahan infrastruktur, terutama pelabuhan,
3) memperbaiki sistem logistik dan pelayanan publik, seperti national single window,
4) perizinan perdagangan dalam dan luar negeri akan menjadi online,
5) memperketat surat keterangan asal (country of origin), dan
6) meningkatkan pencitraan Indonesia (national branding) di dalam dan luar negeri.

Namun, akan sangat terlambat jika baru ditangani sekarang karena akan perlu waktu lama, sekitar 3 tahun-5 tahun dan pelaku ekonomi nasional telanjur dirugikan secara finansial ataupun ketenagakerjaan. Berdasarkan kenyataan dan temuan
Komisi VI DPR, masih terjadi ekonomi biaya tinggi, bahkan sangat tinggi, bagi pelaku ekonomi nasional. Ini menyebabkan RI tidak bisa bersaing dengan China. Contohnya ongkos pelabuhan tinggi, termasuk biaya bongkar muat mencapai 95 dollar AS per kontainer, padahal di Malaysia 88 dollar AS, Thailand 63 dollar AS dan Vietnam 70 dollar AS.
Menurut Wakil Ketua DPR Pramono Anung, karena masih adanya produk- produk yang terancam kesulitan, pemerintah harus bisa memproteksi. Seperti proteksi yang dilakukan Amerika Serikat terhadap pertanian gandumnya, serta Perancis dengan pertanian anggurnya. Selain itu, pemerintah juga diharapkan menawarkan insentif bagi produsen dalam negeri dan menguatkan permintaan domestik.

Implementasi ACFTA memang menjadi pilihan sulit bagi Pemerintah RI. Di satu sisi, ACFTA sudah telanjur ditandatangani, di sisi lain terlalu besar pertaruhannya bagi bangsa ini untuk menerapkan ACFTA secara tergesa-gesa. Dampak dari penerapan ACFTA yang tergesa-gesa adalah ketergantungan ekonomi Indonesia semakin tinggi termasuk produk-produk sensitif, seperti pangan dan tekstil. Selain itu, pemulihan ekonomi tahun 2010 ke depan sangat rentan. Ini mengakibatkan melemahnya daya serap tenaga kerja dan melambatnya pertumbuhan investasi. Padahal, dibutuhkan investasi Rp 2.000 triliun untuk pembangunan infrastruktur.

Apa solusinya? Jelas tak ada solusi jangka pendek karena permasalahan Indonesia dalam kasus ACFTA sudah menjadi
permasalahan kumulatif.
Pertama, diperlukan suatu badan yang bertugas menghantar Indonesia menuju era perdagangan bebas ACFTA. Prinsipnya, badan ini memastikan kemampuan dan persiapan bangsa ini menjadi memadai menghadapi persaingan bebas, terutama dengan China. DPR sendiri merasa perlu membentuk panitia kerja setelah melihat proses persiapan ACFTA, pemerintah tidak siap dan tak transparan.
Kedua, Indonesia perlu membangun keunggulan berkelanjutan dan jangka panjang (sustainability competitiveness). Perlu melibatkan dan bekerja sama dengan semua pihak, termasuk pelaku ekonomi swasta dan legislatif agar cara pikir lama dapat ditransformasikan ke cara pikir masa depan menghadapi ACFTA.
Ketiga, pembangunan infrastruktur terutama kelistrikan menjadi mutlak dan tidak bisa ditunda-tunda lagi, sebagai syarat utama peningkatan daya saing. Peran swasta mutlak diperlukan. Investasi swasta di kelistrikan saat ini tidak menarik. Pembenahan birokrasi dalam kerangka reformasi birokrasi juga harus dipercepat. Seluruh parameter efisiensi, seperti perizinan, peruntukan lahan, hingga biaya pajak dan retribusi, harus ditata kembali secara serius. Tak kalah penting adalah kepastian hukum dalam rangka menjamin iklim investasi yang kondusif.
Keempat, diperlukan badan yang bersifat extraordinary untuk mengawasi transisi. Badan itu berfungsi memastikan koordinasi standardisasi produk, legalisasi di dunia usaha dan investasi, hingga pengawasan persaingan usaha berjalan dalam suatu sistem. Badan ini juga akan menjadi trouble shooter dari hambatan birokrasi dan koordinasi antar instansi, khusus menghadapi ACFTA. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar