Minggu, 30 Januari 2011

Perdagangan Internasional dan Kemiskinan

Date: Thu May 24 2001 - 16:24:14 EDT


From: "Andreas Limongan" <andreas_limongan@hotmail.com
Subject: Perdagangan Internasional dan Kemiskinan 
Date: Thu, 24 May 2001 16:57:32 -0000


             Perdagangan Internasional dan Kemiskinan

Pendahuluan
        Pada artikel ini saya akan mencoba mengangkat masalah perdagangan 
internasional beserta dampak yang akan ditimbulkannya, dalam hal ini saya 
mencoba untuk mengangkat kemiskinan sebagai dampak terburuk karena sebab 
adanya proses perdagangan yang “tidak adil” antar negara. Sejarah telah 
membuktikan bahwa negara-negara yang menguasai modal/kapital dan teknologi 
akan jauh lebih diuntungkan dalam perdagangannya dengan negara-negara yang 
ketinggalan yang notabene hanya mengandalkan kelimpahan dari sumber daya 
alam dan sumber daya manusianya. Saya akan mencoba untuk mengulas masalah 
perdagangan internasional dari mulai era merkantilisme, kemudian pada era 
ekonomi klasik, dan terakhir pada era sekarang. Terakhir saya akan mencoba 
untuk mengulas apa itu kemiskinan beserta penjelasan disertai dengan 
teori-teori yang lahir sebagai kritik terhadap perdagangan internasional 
tersebut. Semoga saja para pelaku ekonomi dan para pedagang di Indonesia 
dapat belajar dari sini.


Perdagangan Internasional Pada Era Merkantilisme 
        Merkantilisme pada prinsipnya merupakan suatu paham yang menganggap bahwa 
penimbunan uang, atau logam mulia yang akan ditempa menjadi uang emas 
ataupun perak haruslah dijadikan tujuan utama kebijakan nasional. Pada saat 
merkantilisme lahir, sistem masyarakat pada saat itu berdasarkan feodalisme. 


Sistem feodal pada dasarnya menanggapi kebutuhan penduduk akan perlindungan 
terhadap gangguan perampok. Jaminan keselamatan tersebut diberikan oleh para 
raja terhadap para bangsawan, kerabat, dan bawahannya. Sistem inilah yang 
melahirkan tuan tanah, bangsawan, kaum petani, dan para vassal yaitu 
raja-raja kecil yang diharuskan untuk membayar upeti terhadap raja besar. 


Ketika merkantilisme mulai berkembang, sistem feodalisme yang usang sedikit 
demi sedikit mulai terkikis, hak-hak istimewa yang dimiliki oleh para tuan 
tanah dan para bangsawan mulai dihapus, lapisan-lapisan sosial yang melekat 
pada sistem feodal mulai dihilangkan, cara produksi dan distribusi gaya 
feodalpun mulai ditinggalkan. 


        Mengapa merkantilisme menitikberatkan pada penimbunan uang atau logam 
mulia? 

Pada saat itu Eropa tumbuh sebagai basis kekuatan industri dan 
perdagangan baru di dunia, di mana peran para pedagang sangatlah besar. Hal 
ini juga didorong karena ketika itu negara-negara seperti Spanyol, Portugal, 
Inggris, Prancis, dan Belanda sedang giat-giatnya melakukan pelayaran 
internasional guna mencari daerah-daerah baru yang dapat dijadikan sebagai 
koloni-koloni mereka. Karena uang adalah bentuk kekayaan yang paling luwes 
penggunaannya dan dapat dipercaya, dengan uang pula seseorang dapat membeli 
apa saja, uang dapat diterima di seluruh dunia, maka penimbunan uang dalam 
bentuk logam mulia dirasakan merupakan usaha paling tepat pada saat itu 
dalam rangka menumpuk kekayaan suatu negara. Penumpukkan kekayaan dalam 
bentuk logam mulia juga jauh lebih efisien karena tidak makan tempat dan 
juga yang pasti tahan lama, bandingkan jika penumpukkan kekayaan pada saat 
itu hanya dalam bentuk gandum atau hasil pertanian lainnya. 


          Salah satu tokoh besar yang lahir pada zaman merkantilisme adalah Thomas 
Mun. Mun adalah seorang cendekiawan Inggris dan putera seorang pedagang di 
London. Mun berhasil menelurkan hasil pemikirannya dalam bukunya yang 
berjudul England’s Treasure by Foreign Trade yang memberikan sumbangan yang 
sangat besar terhadap teori perdagangan internasional. Mun berpendapat bahwa 
untuk meningkatkan kekayaan negara, cara yang biasa dilakukan adalah lewat 
perdagangan dan karena itu pedoman yang harus dipegang teguh oleh suatu 
negara adalah mengusahakan agar nilai ekspor ke luar negeri harus lebih 
besar dibandingkan dengan yang diimpor oleh negara itu. Keuntungan bersih 
menurutnya akan diperoleh melalui selisih dari hasil penjualan yaitu ekspor 
dengan pembelian yaitu impor dan dengan demikian jumlah uang emas dan perak 
yang akan diterima akan semakin besar tiap tahunnya. Mun juga berpendapat 
jika suatu negara lewat perdagangan memperoleh banyak uang, jangan sampai 
modal itu hilang justru karena uang itu tidak dipergunakan untuk berdagang 
lagi.

 Dari argumen Mun dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa bahkan dalam 
suatu tata ekonomi perdagangan, uang baru merupakan kekayaan yang berarti 
hanya bila uang tersebut digunakan sebagai alat tukar menukar, dan uang akan 
menjadi beban suatu negara jika uang hanya disimpan saja. Sumbangan Mun yang 
tidak kalah pentingnya adalah terciptanya suatu kerangka dasar neraca 
pembayaran suatu negara pada tahun tertentu. Walaupun neraca pembayaran pada 
saat itu angka-angka itu memang tidak disusun teliti, namun yang penting Mun 
telah menunjukkan kerangka dasar neraca pembayaran dengan baik sekali. 


         Julukan merkantilisme pada dasarnya diberikan kepada aliran atau paham ini 
oleh para kritikus ekonomi khususnya Adam Smith. Sebutan merkantilisme 
mengandung makna menyamakan suatu bangsa atau negara dengan kebijakan 
seorang pedagang, yang berusaha mendapatkan hasil yang lebih besar pada 
waktu menjual dibandingkan dengan apa yang dikeluarkannya ketika membeli dan 
dengan demikian meningkatkan kekayaan perusahaannya. Seperti layaknya 
seorang pedagang, bangsa yang merkantilis memandang bangsa dan negara lain 
sebagai saingannya dan mencoba untuk merebut pasaran saingannya dengan cara 
merebut suatu monopoli atau dengan cara lain-lainnya. Biasanya seorang 
pedagang berusaha untuk menekan harga barang yang akan dibelinya, dan 
membayar upah serendah mungkin dengan tujuan untuk menekan biaya pada titik 
yang paling minimal. Demikian juga negara yang menganut paham merkantilisme 
berusaha untuk menumpuk kekayaan dengan jalan memeras dan menguras 
sumber-sumber daya yang murah di negara jajahan dan mengupah buruh dengan 
upah yang sangat minim di negerinya sendiri. 


        Karena situasi dan kondisi tersebutlah maka mengapa peranan negara harus 
begitu kuat demi nasionalisme ekonominya. Kekuasaan negara yang semakin kuat 
berhasil menciptakan keadaan yang aman dengan mengatasi konflik-konflik 
antarwilayah yang sering berkecamuk di antara para bangsawan. Terciptanya 
keamanan dan kestabilan dalam negeri ini merupakan prasayarat untuk 
memperluas pasar dalam negeri dan perkembangan produksi. Di samping itu juga 
negara memberikan kemudahan-kemudahan kepada para pedagang untuk melakukan 
perdagangan internasional, dengan demikian maka keuntungan yang diraih oleh 
para pedagang dapat memberikan masukan pendapatan bagi negaranya. 


Merkantilisme memang tidak semata mendatangkan keuntungan belaka bagi 
negara-negara yang melakukan perdagangan internasional, namun juga kerugian 
bahkan penderitaan bagi para buruh, petani, dan rakyat yang tinggal di 
daerah koloni sebagai daerah jajahan. Para buruh dipaksa bekerja dengan 
sekeras-kerasnya dengan upah yang serendah-rendahnya guna mendorong ekspor 
sebanyak-banyaknya, bahkan konsumsi untuk dalam negeripun sampai dilupakan. 


Jam kerja pada kenyataannya sangat tidak terbatas. Kondisi buruh sangat 
memprihatinkan, anak-anak dan para wanita dengan pakaian yang 
compang-camping dipaksa untuk bekerja di tambang batu bara di Inggris. 
Pemogokan para pekerja dianggap sebagai suatu kejahatan dan langsung 
ditindak tegas. 


Nasib para petani tidak lebih baik dibandingkan dengan kaum buruh, pada saat 
itu fungsi pertanian hanya dipandang sebagai penyedia bahan pangan yang 
semurah mungkin dengan demikian juga upah buruh dapat ditekan rendah, dan 
sebagai sumber bahan mentah untuk industri yang semurah-murahnya. Karena itu 
mengapa penghasilan para tuan tanah terutama para petani yang bekerja 
padanya begitu rendah. Belum lagi jika lahan pertanian dipaksa untuk diubah 
menjadi lahan industri oleh pemerintah, maka dapatlah dipastikan berapa 
banyak para petani yang bakal menganggur. 


Lebih mengenaskan lagi nasib daerah jajahan pada saat itu. Karena didorong 
motivasi untuk memperoleh daerah koloni baru guna menopang industri-industri 
yang baru tumbuh, maka perbudakan menjadi salah satu cara guna memperoleh 
sumber daya manusia yang murah bagi industri di negara merkantilis. 


Pengurasan sumber-sumber daya alam besar-besaran dilakukan di setiap daerah 
jajahan dengan tujuan untuk memperoleh sumber daya alam dengan 
semurah-murahnya seperti kentang, tembakau, kopi, tebu, teh, cengkeh, dan 
lain-lain untuk dijual lagi dengan harga yang setinggi-tingginya.


Perdagangan Internasional Pada Era Klasik
        Ekonomi klasik resmi berdiri ketika Adam Smith mengeluarkan bukunya yang 
berjudul An Inquiry into Nature and Causes of the Wealth of Nations, yang 
biasa disingkat dengan Wealth of Nations. Dalam bukunya, Adam Smith mau 
menjelaskan apa yang sejak itu merupakan pokok masalah ekonomi modern yakni 
bagaimana meningkatkan kekayaan/kemakmuran suatu negara dan bagaimana 
kekayaan tersebut didistribusikan. Menurut Adam Smith, kekayaan suatu negara 
akan bertambah searah dengan peningkatan ketrampilan dan efisiensi para 
tenaga kerja, dan sejalan dengan persentase penduduk yang terlibat dalam 
proses produksi. Kesejahteraan ekonomi setiap individu tergantung pada 
perbandingan antara produksi total dengan jumlah penduduk. Smith juga 
menganjurkan adanya spesialisasi kerja dan penggunaan mesin-mesin sebagai 
sarana utama untuk peningkatan produksi. Ia juga memperkenalkan konsep 
invisible hand-nya di mana setiap orang yang melakukan kegiatan di dalam 
perekonomian dituntun oleh sebuah “tangan yang tidak kelihatan” sehingga ia 
dengan mengejar kepentingannya sendiri ia kerap justru lebih efektif 
memajukan kepentingan masyarakat daripada kalau ia sungguh bermaksud untuk 
memajukan kepentingan masyarakat itu. 


            Adam Smith mengajukan teori perdagangan internasional yang dikenal 
dengan teori keunggulan absolut. Ia berpendapat bahwa jika suatu negara 
menghendaki adanya persaingan, perdagangan bebas dan spesialisasi di dalam 
negeri, maka hal yang sama juga dikehendaki dalam hubungan antar bangsa. 


Karena hal itu ia mengusulkan bahwa sebaiknya semua negara lebih baik 
berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana ia mempunyai keunggulan yang 
absolut dan mengimpor saja komoditi-komoditi lainnya. Apa yang dimaksud 
dengan keunggulan yang absolut? Maksudnya begini, jika negara A dapat 
memproduksi kentang untuk 8 unit per tenaga kerja sedangkan negara B untuk 
komoditi yang sama hanya dapat memproduksi 4 unit per tenaga kerja, 
sedangkan untuk komoditi lain misalnya gandum, negara A hanya dapat 
memproduksi 6 unit per tenaga kerja sedangkan untuk negara B dapat 
memproduksi 12 unit per tenaga kerja, maka dapat disimpulkan bahwa negara A 
mempunyai keunggulan absolut dalam produksi kentang dibandingkan dengan 
negara B, sedangkan negara B dapat dikatakan mempunyai keunggulan absolut 
dalam produksi gandum dibandingkan negara A. Perdagangan internasional yang 
saling menguntungkan antara kedua negara tersebut jika negara A mengekspor 
kentang dan mengimpor gandum dari negara B, dan sebaliknya negara B 
mengekspor gandum dan mengimpor kentang dari negara A. 


        Teori perdagangan internasional yang lain diperkenalkan oleh David Ricardo. 
Teorinya dikenal dengan nama teori keunggulan komparatif. Berbeda dengan 
teori keunggulan absolut yang mengutamakan keunggulan absolut dalam produksi 
tertentu yang dimiliki oleh suatu negara dibandingkan dengan negara lain, 
teori ini berpendapat bahwa perdagangan internasional dapat terjadi walaupun 
satu negara tidak mempunyai keunggulan absolut, asalkan harga komparatif di 
kedua negara berbeda. Ricardo berpendapat sebaiknya semua negara lebih baik 
berspesialisasi dalam komoditi-komoditi di mana ia mempunyai keunggulan 
komparatif dan mengimpor saja komoditi-komoditi lainnya. Teori ini 
menekankan bahwa perdagangan internasional dapat saling menguntungkan jika 
salah satu negara tidak usah memiliki keunggulan absolut atas suatu komoditi 
seperti yang diungkapkan oleh Adam Smith, namun cukup memiliki keunggulan 
komparatif di mana harga untuk suatu komoditi di negara yang satu dengan 
yang lainnya relatif berbeda. 


        Walaupun ada beberapa perbedaan pandangan mengenai perdagangan 
internasional, namun pada dasarnya keberadaan pandangan ekonomi klasik ini 
merupakan oposisi terhadap teori-teori yang beraliran merkantilistik abad 
ke-17 dan 18. Kaum merkantilis pada pokoknya mengutamakan perdagangan luar 
negeri, di mana mereka berpikir tipikal kapitalis yang keuntungannya datang 
dari membeli murah dan menjual mahal. Sedangkan tema pokok dalam ekonomi 
klasik adalah pembahasan tentang laba dan sewa dalam dalam pengertian 
surplus yang datang dari produksi. Surplus itu sendiri nantinya akan masuk 
ke tangan para kapitalis atau pemilik tanah sebagai tambahan untuk akumulasi 
modalnya. 


        Perdagangan internasional pada saat itu kondisinya tidak jauh berbeda 
dengan perdagangan internasional pada era merkantilisme, negara-negara 
jajahan tetap saja menjadi tumbal dalam perdagangan internasional. 


Negara-negara yang pada saat itu menjadi negara-negara maju yakni 
negara-negara yang mengandalkan sektor industri mengambil keuntungan dari 
perdagangan internasional dibandingkan dengan negara-negara yang hanya 
mengandalkan sektor agraris saja. Apa sebab?

 Karena pertama, barang-barang 
industri dapat dihasilkan kapan saja tidak terikat pada musim, berbeda 
dengan barang-barang hasil pertanian yang terikat pada musim sehingga 
barang-barang industri dapat segera ready stock dibandingkan dengan 
barang-barang hasil agraris yang harus menunggu dulu pada saat panen. 

Kedua, 
barang-barang industri memiliki heterogenitas yang lebih tinggi jika 
dibandingkan dengan barang-barang hasil pertanian yang cenderung lebih 
homogen. Gandum yang dihasilkan di negara A mungkin tidak jauh berbeda 
bahkan mungkin sama jika dibandingkan dengan gandum yang dihasilkan di 
negara B. Tetapi jika kita melihat pada hasil industri, misalnya mesin maka 
mesin yang dihasilkan di negara A tidak mungkin sama bahkan sangat berbeda 
dengan mesin yang dihasilkan di negara B walaupun kedua mesin tersebut 
mungkin memiliki fungsi yang sama. Sehingga karena barang hasil industri 
dapat lebih terdiferensiasi dibandingkan dengan barang hasil pertanian, maka 
harga barang industri dapat lebih mahal di pasar karena keunikan yang 
dimiliki oleh masing-masing barang industri yang diproduksi.

 Ketiga 
negara-negara industri dapat menjual barang industri dengan harga yang lebih 
mahal dibandingkan dengan negara-negara agraris yang hanya menjual produk 
pertanian. Nilai barang industri menjadi lebih mahal karena ia mendapat 
proses yang lebih lanjut di dalam pabrik-pabrik sehingga produk tersebut 
lebih berdaya guna. Jika misalnya negara A menjual kapas kepada negara B, 
lalu kemudian negara B memproses kapas tersebut menjadi benang kemudian kain 
maka nilai kain tersebut lebih mahal dibandingkan dengan nilai kapas tadi. 
Oleh negara B, kain tersebut dijual kepada negara A, negara A dalam hal ini 

akan mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk membeli kain tersebut 
dibandingkan dengan pemasukannya dari penjualan kapas ke negara B. Karena 
alasan inilah mengapa negara-negara industrialis akan lebih diuntungkan 
dalam perdagangan internasional daripada negara-negara agraris. 


        Pada era ini, nasib buruh tidak lebih baik dibandingkan pada waktu era 
merkantilisme. Buruh demikian tertekan karena kebijakan “upah besi”, dengan 
tujuan agar perusahaan dapat menekan biaya mereka untuk terus berada pada 
titik terendah, sehingga si kapitalis dapat mengambil nilai lebih atau 
surplus dari produksi tersebut sebagai tambahan untuk kapital atau modalnya.

Perdagangan Internasional Pada Era Sekarang 


        Setelah Perang Dunia II, secara garis besar di dunia terbagi dua jenis 
negara yang sangat berbeda dari segi karakteristik perekonomian. Yang 
pertama adalah negara maju. Negara-negara maju pada umumnya adalah bekas 
negara-negara penjajah pada zaman imperialisme dan kolonialisme dulu. Yang 
kedua adalah negara sedang berkembang atau sering disebut sebagai negara 
yang terbelakang dari segi kemampuan perekonomiannya. Negara-negara ini pada 
umumya adalah bekas negara-negara jajahan di masa lampau, walaupun sebagian 
dari mereka sekarang sudah dapat menjadi negara-negara maju namun jumlahnya 
masih sangat sedikit.

 Ciri-ciri dari negara sedang berkembang adalah: 
1. Kemiskinan secara umum 
2. Konsentrasi pada pertanian 
3. Ekonomi dualistik 
4. Sumber daya alam kurang terolah 
5. Memiliki ciri demografis yakni dominasi penduduk usia muda 
6. Banyak pengangguran termasuk pengangguran terselubung 
7. Keterbelakangan ekonomi 
8. Ketiadaan inisiatif dalam usaha atau etos kerja yang sangat rendah dari 
penduduknya 
9. Keberadaan modal sangat langka, inilah sebabnya mengapa negara berkembang 
sangat mengandalkan investasi asing 
10. Ketertinggalan dalam teknologi 
11. Orientasi perdagangan luar negeri 


        Karena kondisi-kondisi di ataslah menjadi alasan mengapa adalah sangat 
sulit bagi negara-negara yang sedang berkembang untuk mengembangkan 
perekonomiannya, juga seringkali dalam perdagangan internasionalnya 
negara-negara sedang berkembang tidak dapat memperoleh keuntungan yang 
benar-benar maksimal jika dibandingkan dengan negara-negara industri atau 
negara-negara maju. Atau secara singkat, dalam perdagangan internasional 
negara-negara maju memiliki posisi yang jauh lebih menguntungkan 
dibandingkan dengan negara-negara yang sedang berkembang. Apa sebabnya? Di 
sini saya akan mencoba menyajikan dua macam teori sebagai kritik terhadap 
perdagangan internasional yang dinilai tidak adil bagi negara-negara sedang 
berkembang. Walaupun kritik ini tidak sempurna, namun tidak ada salahnya 
untuk kita kaji dan cermati. 


        Yang pertama adalah backwash effects theory, teori yang dikembangkan oleh 
Gunnar Myrdal. Teori ini mengkritik pandangan dari ekonomi klasik yang 
menganggap bahwa pembangunan ekonomi suatu wilayah dunia akan menyebar ke 
wilayah lainnya karena adanya perdagangan internasional. Pada kenyataannya, 
menurut Myrdal di pasar internasional negara-negara sedang berkembang kalah 
dalam bersaing karena adanya disparitas teknologi yang sangat mencolok. Hal 
ini disebut sebagai backwash effects dari perdagangan internasional bagi 
negara sedang berkembang. Kedua, ekspor dari negara sedang berkembang 
mengandalkan produk primer dan unskilled labor sehingga hasil produknya 
menghadapi elastisitas permintaan yang rendah. Arus modal internasional juga 
tidak dapat diandalkan, karena pada kenyataannya modal lebih banyak yang 
beralih dari negara sedang berkembang ke negara-negara maju. Mengapa bisa 
demikian? Karena pertama, faktor keamanan dan kestabilan dalam politik di 
negara-negara maju memancing para kapitalis di negara-negara sedang 
berkembang untuk mengalihkan modalnya ke negara-negara maju karena alasan 
keamanan. Kedua, karena negara-negara maju memiliki instrumen pasar uang dan 
pasar modal yang lebih banyak variasinya dan lebih mapan dibandingkan dengan 
pasar uang dan pasar modal yang ada di negara sedang berkembang. Kelemahan 
dari teori ini seperti yang kita lihat sekarang adalah bahwa secara empiris 
negara-negara yang termasuk Asian New Industrial Countries seperti Korea 
Selatan, Singapura, dan Taiwan justru berhasil menciptakan kemajuan dari 
perdagangan internasional. 
      

  Yang kedua adalah teori dependensia. Teori ini berpendapat bahwa pada 
dasarnya di dunia ada dua jenis negara, yang pertama adalah negara pusat 
(core) yakni negara-negara maju, yang kedua adalah negara-negara pinggiran 
(periphery) yakni negara-negara sedang berkembang. Negara-negara pinggiran 
sangat bergantung kepada negara pusat. Negara pusat melakukan penghisapan 
kepada negara-negara pinggiran (surplusnya dihisap) yang mengakibatkan 
adanya pertukaran yang tidak adil. Foreign investment membuat pertumbuhan 
ekonomi negara sedang berkembang semakin tergantung pada negara maju demi 
kepentingan pasar dan modal. Hal ini terjadi karena adanya inequal exchange 
antara negara sedang berkembang dan negara maju. Teori ini mengajukan solusi 
bahwa sebaiknya negara-negara pinggiran harus melepaskan pengaruhnya sama 
sekali dari negara pusat dan melakukan pakta perdagangan dengan 
negara-negara pinggiran lainnya. Namun pada kenyataanya hal ini sangat sulit 
dilakukan karena jika hanya dilakukan pakta perdagangan antara dua negara 
yang sama-sama pinggiran, maka pertukaran mungkin tidak terjadi sama sekali 
karena barang yang ditawarkan dari masing-masing negara pinggiran adalah 
sama yakni barang-barang hasil pertanian, sedangkan syarat terjadinya 
pertukaran atau perdagangan internasional adalah karena adanya perbedaan 
hasil produksi antara satu negara dengan negara lain. Sekali lagi teori ini 
mempunyai kelemahan, karena secara empiris negara-negara yang termasuk New 
Industrial Countries justru berhasil memenangkan persaingan dagang bahkan 
dengan negara-negara maju sekalipun. Menutup diri dari pedagangan 
internasional ataupun menutup diri dari pengaruh negara-negara barat bukan 
salah satu jalan keluar. Terbukti bahwa negara-negara yang menutup diri dari 
pengaruh negara barat akan mengalami kesulitan dalam pembangunan 
perekonomiannya, kenyataan pahit inilah yang dialami oleh negara-negara yang 
mengisolasi dari negara barat seperti Korea Utara, Cuba, dan Afganistan.


----- End of forwarded message from Andreas Limongan -----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar